Tidak terdapat catatan lebih lanjut
mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdèsmempublikasikan
penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi
Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca
"Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain berita-berita diatas tersebut,
telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno
yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa
Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah
hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buatjembatan. Tercatat ada 17
keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan
bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini
dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara
ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai
perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan
temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya menjadi simbol
kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selainMajapahit di Jawa Timur. Pada
abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis
untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu
kesatuan negara sebelelumkolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut
dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shihatau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan
bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnyaMalayu. Banyaknya nama merupakan
alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3
pulau Sabadeibeiyang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan
observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsiSumatera Selatan sekarang), tepatnya
di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman
Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini
didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar
menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau
buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia.
Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan
empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20
hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan
bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar