Kemaharajaan
Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan
armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan
membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah
kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari
catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan
lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan
sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Mas‘udi,
seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan
itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan
tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa
hasil bumi lainya.
Sriwijaya
menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan
tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh
menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita
Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi
dan Cho-po terlibat persaingan
untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena
negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga
berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa.
Pada
musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali
tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta
kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia
dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah
Dharmawangsa
Teguh.
Kerajaan
Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun
kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung
Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa
terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena
Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di
Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala
Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.
Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani
Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling
menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk
memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan
mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri
Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia
mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai
dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar
Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan
itu menamai candi itu cheng tien wan
shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu (Candi Bungsu, salah
satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan
dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka
Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa.
Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah
peristiwa Mahapralaya, yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan
raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa
Teguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar